Lapis dan Opini (patriarki)
Ini bikin nya bukan hari ini, kayaknya 2 bulan atau 1 bulan yang lalu. Aku lupa. Waktu itu nggak bersemangat karena dicobaain rekan kerja ku rasanya nggak yang wow gitu tapi lumayanlah untuk seorang aku ini. Hmmmm.
Ok, lanjut ke resep dan cara membuat aja ya !
Resepnya (agak samar-samar yaa)
Tepung Tapioka ½ kg
Tepung Terigu ¾ kg
Gula ½ kg
Santan kelapa (aku pake instan 3 bungkus merek kara)
Air secukupnya
Pewarna pandan secukupnya, untuk lebih harus bisa memakai daun pandan
How to make
1. Campurkan semua tepung dan gula
2. Masukan santan dan air dikit demi sedikit sampai adonan cair agak kental
3. Aduk-aduk sampai adonan rata
4. Bagi 2 adonan ke dalam 2 baskom, salah satunya beri warna hijau
5. Siapkan kukusan dan cetakan yang sudah diolesi minyak
6. Ambil gelas atau centong sayur untuk takaran
7. Masukkan 1 centing atau 1 gelas kedalam cetakan
8. Kukus selama kurang lebih 5 menit untuk setiap lapis adonan
9. Habiskan adonana dan matangkan semua nya secara merata
10. Angkat, tunggu dingin kemudian iris sesuai selera. Kue lapis sudah siap dinikmati.
Ok, itu ya resepnya nya...
Ribuan, ratusan, puluhan atau bahkan jutaan ribu silam sebelum masehi, ntah berapa hijriah tidak bisa diingat. Yang bisa diingat dan melekat adalah bahwa kelahiran perempuan jadi masalah, secara kenabian dulu di zaman Rasulullah SAW dibuku seni tinggal di bumi dikatakan bahwa ketika perempuan lahir maka akan dijadikan budak atau dibunuh. Dan beruntungnya ibunda siti khadijah lahir dari keluarga yang terpandang dan beliau selamat, dan jauh setelah itu di berbagai negara pun masih banyak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Di buku wanita berkarir surga disebutkan bahwa di Cina, India, Yunani dan berbagai negara lainnya juga begitu -wanita tidak diharapkan kehadirannya, jika hadir maka akan dianggap beban dan hanya akan jadi budak. Miris bukan?
Secara gen, laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan. Khususnya Perempuan mempunyai alat reproduksi sedangkan laki-laki tidak, perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara genetik dengan berbagai printilan yang melekat ditubuhnya itu dinamakan dengan seks. Ini materi yang kudapatkan ketika belajar tentang keperempuan dulu pada tahun 2019 di ibukota negara. Jadi pada hakikatnya secara seks atau seksualitas permpuan dan laki-laki tidak bisa disamakan -lebih ringkasnya urusan fisik dan kekuatannya.
Adapun sekarang atau dulu ketika ibu kita R.A Kartini melalui pemikirannya bahwa perempuan harus diberikan hak yang sama dengan laki-laki dinamakan kesetaraan gender atau lebih mudahnya kesetaraan sosial (bukan kesetaraan genetik) dimana salah satunya bayi perempuan dibiarkan untuk hidup, mengenyam pendidikan yang sama dan boleh melakukan apa yang dilakukan laki-laki misal jadi pemimpin sebuah organisasi, jadi pembicara, wartawan bahkan tukang tambal ban. Apapun itu yang penting bukan adzan apalagi imam sholat (ini menurutku), jika ada yang sudah berlebihan menggaungkan kesetaraan gender seperti berada satu shaff yang sama dengan laki-laki itu sudah keliru dari konteks kesetaraan gender tapi lagi-lagi aku tidak akan bahas itu secara mendalam, ini hanya sekedar gambaran mengenai apa itu kesetaraan agar nanti bahasan selanjutnya nyambung.
Nah, agak paham dikitlah ya kalo mau paham banget bolehlah baca-baca buku abis itu kita sharing lebih enak lagi jika dari sudut pandang laki-laki.
On Point dari tulisan ini sebenernya aku cuma mau curhat, jadi tu ya ini kan aku masih acara keluarga dan lumayan nginepnya tu sekitar 3 harian lah ya. Dan ini aku tinggal eh maksudnya kumpul nya itu di rumah mbahku dan yang kumpul disini sekitar ada 14 orang, 7 orang laki dan 7 orang perempuan + 1 orang lagi suka mondar-mandir dan dia laki-laki.
Jika kamu menebak apakah ada budaya patriarki disini, ah betul sekali tebakanmu bahkan aku akan memberi nilaimu 100 atau A+. Dan aku merasa korbannya, bayangkan pagi-pagi bulek (tante) ku sudah mulai menggunakan microphone dan lantangnya bilang gadis-gadis ayo bangun tapi tidak ada kata-kata bujang-bujang ayo bangun, terus ketika urusan dapur siapa lagi yang akan mengerjakan jika bukan perempuan, sama halnya terkait cuci piring yang disuruh bertanggung jawab perempuan, yang lebih banyak dinasehati perempuan kalo abis makan piringnya dicuci, astaga padahal abis cuci piring dan makan pun belum sudah kena lagi, fyi yang makan dan tidak mencuci piring adalah laki-laki. Sungguh, aku benci patriarki.
Begitu pula di acara arisan keluarga yang orangnya banyak sekali mungkin 40an, para pempuan sudah menyajikan makan melalui proses pikir uangnya darimana, mau menu apa sampai terhidang menjadi sebuah makanan dengan berbagai nama seperti soto misalnya. Kukira setelah itu para perempuan khususnya yang gadis bisa "lenggang-lenggang kangkung" ternyata tidak besti, keluar lagi kalimat ajaib itu "yok yang gadis-gadis cuci piring". Sontak saja aku dan beberapa dulur (saudara) perempuanku bilang lah, harusnya yang bujang-bujang juga dong masak kami lagi tapi tentu saja dengan cengar-cengir serta nada bergurau tapi disana tersirat pesan bahwa kami kaum perempuan perlu merdeka dari budaya patriarki yang belum berkesudahan ini.
Oiya, selama kumpul keluarga dan menginap disini tak kudengar sekalipun para lelaki untuk menjaga kebersihan rumah kecuali mereka yang sadar dan peduli.
Sebenarnya ya menurutku tentang menjaga kebersihan rumah, kemampuan memasak adalah basic life skill yang harus dipunyai setiap individu yang bernyawa bernama manusia bukan hanya perempuan. Agar apa? Agara kehidupan ini berjalan seimbang, tidak memberatkan perempuan.
Direlung hatiku yang paling dalam, ada 1 keinginan ku yang tujuannya memutus mata rantai patriarki yaitu mencetak generasi yang paham bagaimana manusia hidup dengan basic life skill nya bukan manusia yang memandang berdasarkan budaya patriarki dimana sangat membedakan tanggung jawab antara perempuan dengan laki-laki, sementara aku ada 2 cara diantaranya :
1. Memeberikan pemahaman melalui ruang diskusi untuk semua kalangan
2. Mendidik mereka yang kulahirkan kelak, tentu saja dengan pasangan yang bisa mengerti akan hal ini (eh malah masuk ranah kriteria, ampun-ampun).
Nah, itu dia curhatanku semoga kamu laki-laki atau perempuan yang membaca ini bisa paham dan mengerti apa maksud dari tulisan ini. Oiya ini sorot ku sebagai perempuan, ntah gimana kalo laki-laki memandangnya.
Ok, selamat bertemu diruang diskusi.
Maafkan jika ada salah diksi, aku hanya ingin dipahami dan ingin kamu juga bisa memutus mata rantai patriarki.
Komentar
Posting Komentar